Bunyi
vokal biasanya di klasifikasikan dan diberi nama sesuai posisi lidah dan bentuk
mulut. Posisi lidah tersebut bisa bersifat vertikal dan bisa bersifat
horizontal. Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi. Misalnya bunyi (i)
dan (u) ; vokal tengah misalnya bunyi (e) dan (∂) ; dan vokal rendah misalnya
bunyi (a). secara horizontal dibedakan adanya vokal depan misalnya bunyi (i)
dan (e); vokal pusat misalnya bunyi (∂) ; dan vokal belakang misalnya bunyi (u)
dan (o). kemudian menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal
tak bundar. Disebut vokal bundar karena bentuk mulut membundar ketika
mengucapkan vokal itu, misalnya vokal (o) dan vokal (u). disebut vokal tak
bundar karena bentuk mulut tidak membundar, melainkan melebar, pada waktu
mengucapkan vokal tersebut misalnya vokal (i) dan vokal (e).
Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut itu kita dapat membuat bagan
atau peta vokal sebagai berikut :
Keterangan : TB = tak bundar
B =
bundar
Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut itulah kemudian
kita memberi nama akan vokal-vokal itu, misalnya :
[i] adalah vokal depan tinggi tak bundar
[e] adalah vokal depan tengah tak bundar
[∂] adalah vokal pusat tengah tak bundar
[o] adalah vokal belakang tengah tak bundar
[a] adalah vokal pusat rendah tak bundar.
B.Peta Konsonan
Dari
peta diatas dapat dikatakan bahwa [p]
adalah konsonan hambat bilabial bersuara; sedangkan [b] adalah konsonan hambat bilabial bersuara. Perbedaanbunyi [p] dan [b] terletak pada bersuara dan tidaknya bunyi itu. Dalam hal ini, [p] adalah bunyi tak bersuara dan [b] adalah bunyi bersuara. Oleh karena
itu, dalam bahasa Indonesia kedua bunyi itu pada posisi akhir silabel sering
sekali bertukar-tukar tanpa berbeda maknanya. Di samping [sabtu] lazim juga orang melafalkan [saptu]; disamping itu [lembap]
lazim juga orang menyebutnya dengan [lembab].
Bahasa Arab tidak berbunyi /p/. maka
itu bunyi /p/ yang berasal dari
bahasa asing diserap kedalam bahasa Arab dengan bunyi /b/. misalnya kota Paris di Perancis dalam bahasa Arab menjadi
Baris, dan polisi menjadi (al)-bulis. Sebaliknya, dalam kebanyakan orang
Indonesia bunyi /f/ adalah bunyi
asing, yang ada dalam bahasa Arab, Belanda, atau Inggris; maka oleh
karena itu, bunyi tersebut akan diganti dengan bunyi /p/ , yakni bunyi yang letaknya paling dekat dengan bunyi /f/ itu. Itulah sebabnya kata fitnah menjadi pitnah, kata fikir
menjadi pikir, dan kata revolusi menjadi repolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar